JAKARTA — Momentum peringatan Hari Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang jatuh setiap 18 Desember dimanfaatkan Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto untuk menyoroti persoalan mendasar yang masih membelit PMI. Ia menegaskan, permasalahan PMI tidak bisa dipandang sebatas kasus individual, melainkan merupakan persoalan struktural yang menuntut kehadiran negara secara berkelanjutan dari tahap awal hingga akhir.
Menurut Edy, tingginya biaya rekrutmen, masih maraknya agen penyalur tidak berizin, serta praktik perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja menjadi indikator lemahnya sistem pelindungan PMI. Sepanjang 2024, jumlah penempatan PMI secara resmi mencapai sekitar 297.434 orang. Namun, peningkatan angka penempatan tersebut belum diimbangi dengan jaminan keselamatan dan pemenuhan hak-hak pekerja.
Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat terdapat 456 pengaduan kasus PMI sepanjang 2024. Sementara Komnas HAM merekam 206 pengaduan PMI dalam rentang waktu 2020–2023.
“Data ini menunjukkan bahwa peningkatan penempatan belum diiringi pelindungan yang memadai di lapangan,” katanya.
Politisi PDI Perjuangan itu mengungkapkan sejumlah persoalan yang kerap berulang dialami PMI. Pertama, mahalnya biaya rekrutmen yang membuat calon PMI terjerat utang sejak sebelum keberangkatan.
Kedua, praktik penempatan oleh agen tidak berizin masih terus terjadi, termasuk perekrutan individu ke individu tanpa mekanisme perlindungan yang jelas. Ketiga, modus perdagangan orang yang kini semakin kompleks melalui penipuan daring dan lowongan kerja fiktif yang berujung pada kerja paksa.
Selain itu, banyak PMI menghadapi penahanan upah, pemotongan sepihak, kekerasan fisik maupun seksual, hingga penahanan paspor oleh pemberi kerja. Risiko keselamatan pun tinggi, terutama bagi PMI di sektor domestik dan perikanan jarak jauh yang minim pengawasan.
“PMI bekerja di sektor yang sangat rentan, tetapi justru memiliki sistem pelindungan yang paling lemah,” ujarnya.
Ia menambahkan, berbagai regulasi yang ada masih kerap dilanggar. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, misalnya, sering dilanggar melalui praktik penempatan oleh agen ilegal dan tidak adanya jaminan kontrak kerja yang jelas.
Sementara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang kerap tersentuh akibat perekrutan palsu yang memenuhi unsur TPPO. Pelanggaran administratif seperti pungutan biaya di luar ketentuan dan pengabaian mekanisme penempatan resmi juga masih banyak ditemukan.
Edy juga menekankan pentingnya mengoptimalkan peran pemerintah desa dalam pelindungan PMI sejak tahap paling awal. Ia mengingatkan bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 secara jelas memberikan mandat kepada pemerintah desa, mulai dari penyampaian informasi kerja, verifikasi dan pencatatan calon PMI, fasilitasi administrasi kependudukan, pemantauan keberangkatan dan kepulangan, hingga pemberdayaan PMI dan keluarganya.
“Semua PMI berangkat dari desa. Jika fungsi ini berjalan, praktik penempatan ilegal dan perdagangan orang bisa dicegah sejak awal,” katanya.
Namun, ia menilai mandat tersebut belum berjalan maksimal akibat minimnya regulasi turunan dan keterbatasan anggaran. Padahal, Pasal 43 UU 18/2017 secara tegas mengamanatkan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Tanpa penguatan kapasitas, pendanaan, serta sistem pendukung di tingkat desa, proses verifikasi calon PMI sering terabaikan dan celah bagi calo maupun agen ilegal tetap terbuka.
“Kalau desa tidak diperkuat, negara selalu datang terlambat—hadir ketika PMI sudah bermasalah di luar negeri,” tegas legislator dari Dapil Jawa Tengah III itu.
Lebih lanjut, Edy menilai pelindungan PMI harus dibangun secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap agen ilegal serta praktik TPPO perlu diperketat, dibarengi peningkatan keterampilan calon PMI melalui pelatihan dan sertifikasi yang didukung APBN maupun APBD agar daya tawar mereka meningkat.
Ia juga mendorong perluasan kepesertaan jaminan sosial bagi PMI disertai edukasi yang mudah dipahami. Rendahnya pemahaman PMI terhadap jaminan sosial membuat banyak dari mereka tidak mengetahui hak serta mekanisme perlindungan saat menghadapi kecelakaan kerja, sakit, atau sengketa upah.
“Jaminan sosial bukan formalitas, tetapi jaring pengaman hidup bagi pekerja dan keluarganya,” kata Edy.
Di peringatan Hari Pekerja Migran Indonesia ini, Edy kembali mengingatkan bahwa devisa yang dihasilkan PMI tidak seharusnya ditebus dengan penderitaan.
“Negara harus memastikan setiap warga yang bekerja di luar negeri berangkat dengan aman, bekerja dengan bermartabat, dan pulang dengan selamat. Itulah makna sejati pelindungan PMI,” pungkasnya.
Editor: Fatwa














