JAKARTA, INDOMURIA.COM – Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS), sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menyatakan bahwa upaya penonaktifan sejumlah anggota DPR RI belakangan ini hanyalah trik politik untuk meredam kritik publik.
Menurut Castro, istilah “penonaktifan” tidak dikenal dalam Undang-undang mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), maupun dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam itu tidak membawa konsekuensi hukum—anggota DPR yang disebut “dinonaktifkan” tetap menerima gaji.
Castro menilai langkah tersebut sebagai bentuk “akal-akalannya partai politik untuk menghindar dari kritik public.
Lebih lanjut, Castro menggarisbawahi bahwa jika maksudnya adalah pemberhentian sementara, maka mekanisme itu pun berbeda konteks dan prosedurnya berbeda. Pemberhentian sementara anggota DPR hanya bisa dilakukan melalui Rapat Paripurna, bukan berdasarkan keputusan partai politik.
Berdasarkan aturan yang berlaku, status keanggotaan anggota DPR hanya dapat diubah melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai Pasal 239 dan 240 UU MD3. Misalnya, anggota dapat diberhentikan antarwaktu karena meninggal, mengundurkan diri, tidak aktif bertugas tanpa alasan selama tiga bulan, melanggar sumpah/janji atau kode etik, dinyatakan bersalah atas tindak pidana penjara lima tahun atau lebih, hingga usulan dari partai politik dan mendapat persetujuan Presiden.
Sementara itu, istilah “penonaktifan” hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam konteks penanganan aduan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 144 UU MD3.
EDITOR : Fatwa