NASIONAL – Sebagian kalangan mungkin menilai Mufti Betawi, Sayyid Utsman al-Batawi, sebagai tokoh yang pro Belanda karena kedekatannya secara formal dengan pemerintah kolonial. Namun, menyebut beliau sebagai antek Belanda jelas merupakan penilaian yang tidak adil.
Sayyid Utsman memiliki jasa besar dalam dunia pendidikan Islam (tarbiyah islamiyah) di Indonesia. Warisan intelektual dan perjuangannya menjadi salah satu fondasi penting dalam membentuk kesadaran keislaman yang kemudian turut menyemai semangat kemerdekaan bangsa.
Kiai Maimoen Zubair (Mbah Moen), seorang ulama kharismatik dari Sarang, pernah mengisahkan bahwa banyak kiai pada masa penjajahan memilih untuk menerima jabatan dari pemerintah kolonial, seperti menjadi penghulu. Bukan karena mereka mendukung penjajah, tetapi karena langkah itu dinilai sebagai strategi untuk menahan kebijakan-kebijakan Belanda yang dianggap merugikan umat Islam.
Mbah Moen juga menjelaskan bahwa ulama yang menolak jabatan dari Belanda dan memilih jalan perlawanan sering kali menjadi target penindasan. Mereka diburu, bahkan dibunuh. Akibatnya, mereka kehilangan ruang untuk berdakwah dan membimbing umat. Dalam kondisi saat itu, kekuatan umat Islam sudah tidak sebesar masa Kesultanan Demak. Oleh karena itu, sebagian ulama memilih untuk bersabar dan menunggu momentum yang tepat untuk melakukan perlawanan yang efektif.
Menerima jabatan dari Belanda bukan berarti tunduk atau setia kepada penjajah. Ini lebih kepada strategi bertahan dan menyelamatkan umat dari dalam sistem yang ada. Di samping itu, memang ada pula ulama yang melakukan perlawanan fisik secara langsung, namun kekuatan mereka terus-menerus dilemahkan oleh Belanda.
Beberapa tokoh ulama besar yang diketahui pernah menerima jabatan dari Belanda antara lain Kiai Hasan Mustofa, Kiai Umar (ayahanda Kiai Nawawi al-Bantani), Kiai Kafrawi (ayah Menteri Agama K.H. Fathurrahman Kafrawi), serta Kiai Zubair Dahlan.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan melawan penjajah tidak selalu dilakukan dengan mengangkat senjata. Ada pula perjuangan dalam bentuk strategi dakwah, pendidikan, dan politik yang penuh hikmah — termasuk yang dijalani oleh Sayyid Utsman al-Batawi.
Tulisan ini bersumber dari Amirul Ulum