JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menekankan bahwa setelah pemerintah mulai menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2025 tentang tata kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG), hal terpenting adalah memastikan program ini berjalan dengan benar dan efektif.
Menurutnya, keberhasilan program nasional skala besar ini hanya bisa dicapai jika kedua pihak, pusat dan daerah, memiliki pemahaman yang jelas tentang peran masing-masing.
Pada Rabu (3/12) silam, pemerintah mengadakan rapat koordinasi perdana sebagai tanda awal implementasi Perpres 115/2025.
Menko Pangan Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa perpres tersebut memperkuat berbagai aspek tata kelola, termasuk kewajiban menggunakan bahan baku dari koperasi sebagai bagian dari integrasi rantai pasok.
Pemerintah juga menyiapkan 13 regulasi turunan yang mencakup percepatan pemberian Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), pemenuhan tenaga ahli gizi, serta pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah 3T.
Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan bahwa 8.200 SPPG sedang atau akan dibangun di daerah terpencil. Menanggapi perkembangan itu, Edy menyatakan bahwa Perpres 115/2025 adalah langkah besar, namun keberhasilan program tetap bergantung pada kesiapan teknis di lapangan.
“Kita harus memastikan bahwa percepatan pembangunan SPPG, pengadaan bahan baku dari koperasi, dan penetapan standar higienitas berjalan,” ujar Edy.
Perpres 115/2025 seolah-olah ingin menetapkan norma bahwa bahan baku untuk SPPG harus berasal dari Koperasi Desa, BUMDes, UMKM, atau usaha dagang lain, dengan tujuan menggerakkan perekonomian rakyat.
Edy menyetujui hal ini dan menekankan pentingnya penguatan rantai pasok lokal untuk mendukung dapur SPPG.
“Pasokan bahan baku wajib berasal dari usaha rakyat. Rantai pasok dapur harus mengutamakan petani, peternak, dan nelayan di sekitar lokasi SPPG. Ini sejalan dengan tujuan MBG untuk mendorong pemerataan ekonomi daerah,” katanya.
Edy menilai bahwa selama ini peningkatan kebutuhan bahan baku akibat pembangunan SPPG tidak diimbangi dengan suplai yang memadai. Oleh karena itu, koordinasi antara pemerintah daerah dan BGN menjadi sangat krusial.
“BGN yang tahu kebutuhan SPPG, sementara pemerintah daerah tahu kapasitas supply di wilayahnya. Keduanya harus duduk bersama memetakan sumber bahan baku dan menghubungkannya langsung dengan SPPG,” sarannya.
Menurut Edy, solusi paling strategis adalah mendorong penandatanganan MoU antara SPPG dan kelompok tani, peternak, nelayan, serta supplier lokal yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
“Tanpa peran pemerintah daerah, mustahil BGN bisa mengatur supply secara optimal,” imbuhnya.
Edy juga menyoroti peran strategis ahli gizi di SPPG, terutama terkait keamanan dan kualitas makanan siap saji.
Kepala BGN Dadan Hindayana saat konferensi pers terkait Perpres 115/2025 menyebutkan bahwa dapur SPPG wajib memiliki ahli gizi, namun kedepan ahli gizi di sana bisa berasal dari sarjana kesehatan masyarakat, sarjana teknologi pangan, atau sarjana keamanan pangan. Edy mengingatkan bahwa ahli gizi adalah profesi kesehatan.
Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa setiap profesi kesehatan harus bekerja sesuai kewenangan dan kompetensinya.
“Ahli gizi adalah satu-satunya tenaga kesehatan dengan kompetensi penuh dalam penyelenggaraan makanan bergizi. Mereka punya STR dari konsil dan izin praktik dari pemerintah. Karena itu, yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan kesehatan makanan di SPPG adalah ahli gizi,” ujarnya.
Karena jumlah ahli gizi masih terbatas di banyak daerah, Edy membuka ruang untuk penggunaan tenaga ahli kesehatan masyarakat. Namun dia menegaskan bahwa peran tersebut hanya dapat dilakukan sebagai delegasi, bukan sebagai penanggung jawab.
“Kalau SPPG diisi ahli kesehatan masyarakat, mereka bekerja menjalankan delegasi kewenangan dari ahli gizi. Tanggung jawab profesional tetap melekat pada ahli gizi. Karena itu harus ada penunjukan ahli gizi sebagai supervisor atau penanggung jawab,” katanya.
Legiselator Dapil Jawa Tengah III itu memberikan analogi seperti praktik di puskesmas ketika jumlah dokter kurang: tindakan dapat dilakukan oleh bidan atau perawat, tetapi tetap dalam delegasi dokter yang ditunjuk.
Dengan adanya norma baru dalam pelaksanaan MBG, Edy berharap program ini dapat menjadi pedoman bagi penyelenggara. Program raksasa ini menurutnya harus didukung oleh banyak pihak, agar program yang menggunakan anggaran pemerintah yang cukup besar ini dapat dirasakan oleh masyarakat dengan lebih baik.
Editor: fatwa
















