PATI – Konflik lahan masih menjadi problem utama dalam upaya rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir pantai utara Kabupaten Pati. Hal itu diungkapkan Penyuluh Pendamping Wilayah Pantai Pati pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Jawa Tengah, Afrina Fajar Widyatmoko.
Dia menyatakan bahwa konflik lahan tersebut menjadi kendala dalam pelestarian lingkungan di kawasan pesisir. Menurutnya rehabilitasi mangrove di sepanjang kawasan pesisir Pantai Utara Jawa di Kabupaten Pati masih membutuhkan waktu lama. Selain karena faktor areal yang cukup luas, rehabilitasi mangrove juga membutuhkan kehati-hatian untuk menghindari konflik dengan penduduk sekitar pantai.
“Mengingat, tak semua lahan di bibir pantai bisa ditanami manggrove untuk dijadikan tembok alami penghalang abrasi. Karena, lahan-lahan tersebut justru digunakan sebagian masyarakat untuk membuka area tambak baru,” ungkapnya.
“Mangrove seharusnya menjadi perlindungan di sepanjang pantai. Tapi masyarakat ada yang butuh lahan untuk tambak dan sebagainya,” imbuhnya.
Padahal, kata dia, pemerintah saat ini sedang berencana melakukan rehabilitasi mangrove di sepanjang pantai utara di Jawa. Termasuk di bibir pantai yang berada di Kabupaten Pati.
Pemulihan sabuk hijau itu ditargetkan rampung pada 2045 mendatang. Namun, pihaknya pesimis target tersebut bakal terealisasi di Kabupaten Pati.
Mengingat, pelestarian lingkungan dengan perekonomian masyarakat setempat seringkali tidak berkesinambungan. Ia mencontohkan seperti kondisi mangrove yang berada di Desa Jepat Lor Kecamatan Tayu Pati yang mengalami kerusakan akibat dibuka menjadi petambakan.
“Misalnya Jepat Lor akan menjumpai tanaman mangrove yang banyak berkurang. Jadi penanaman mangrove ini tergantung masyarakatnya juga. Jadi target di Pati sendiri belum ada. Kita baru mengintervensi masalah yang ada terlebih dahulu. Termasuk penyelesaian konflik ini,” pungkasnya. [CAN]