BUDAYA – Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke 148 mengangkat tema Mencari Lailatul Qadar Indonesia (20/4/2024). Pengasuh Suluk Maleman Anis Sholeh Baasyin mengutip ungkapan yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali, bahwa pada dasarnya lailatul qadar bisa ditemukan setiap hari.
“Bahwa sebagaimana terlihat dalam banyak hadits, momentum lailatul qadar muncul sebagai hasil dari dua situasi secara sekaligus,” ungkap Anis.
Pertama, situasi puncak pengelolaan diri secara sungguh-sungguh, atau kalau dalam bulan Ramadan adalah di sepertiga akhirnya.
Kedua, munculnya kesadaran tauhid secara utuh, di mana dualitas yang merupakan wajah eksternal dunia menghilang. Dalam momentum Ramadan, ini disimbolkan dengan tanggal-tanggal ganjil.
Bila dua situasi ini bisa terus diraih dan dipertahankan, maka kemungkinan hadirnya lailatul qadar juga terbuka setiap saat.
Lebih lanjut Anis lantas mengutip surat Al Qashash ayat 71 dan 72. Menurut Anis, kedua ayat ini secara berurutan menjelaskan posisi pengetahuan terkait situasi malam dan siang.
“Di ayat 71 yang berbicara tentang malam, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak mendengar’? Sementara di ayat 72 yang berbicara tentang siang, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak melihat?”
Puasa memosisikan kita dari untuk tak dikendalikan oleh perut dan syahwat. Seperti kita tahu, demikian jelas Anis, catatan sejarah menunjukkan bahwa pembangunan sebuah peradaban acap didikte oleh pengendalian perut dan syahwat.
“Lebih-lebih di masa kini, di mana modernitas memanfaatkan sedemikian rupa kedua unsur tersebut sebagai dasarnya. Sepanjang hidup kita dikondisikan hanya untuk memenuhi kombinasi urusan perut urusan syahwat. Urusan makan dan bersenang-senang menjadi topik yang tak ada habisnya,” tambahnya.
Dia mencontohkan, saat ini tak sedikit yang menjadi tak percaya diri hanya karena rumahnya tak bagus atau tak punya mobil maupun sebaliknya. Padahal hal itu tak serta merta membuat bahagia.
“Zaman dulu ketika tidak punya mobil apakah mereka tidak bahagia?,” sentilnya.
Hal itu secara kasat mata menunjukkan bahwa manusia dikendalikan sesuatu diluar dirinya sendiri. Maka hanya kekuatan pengendalian dirilah yang bisa menuntun manusia untuk memilah mana yang benar-benar dibutuhkan ataupun tidak.
Kemampuan mengendalikan perut dan syahwat, pada tahap lanjut akan menjernihkan hati, dan kejernihan hati akan berimbas pada kejernihan pendengaran dan penglihatannya. Hati yang jernih inilah yang akan mampu menangkap dan memantulkan cahaya ilahiah di tengah kegelapan malam keberadaan manusia. Cahaya yang akan menuntunnya untuk merealisasikan kebenaran. Sangat mungkin itulah salah satu makna lailatul qadar.
“Di mana lewat cahaya dari Allah kita melihat posisi diri di tengah semesta, sekaligus mengaktivasi potensi-potensi yang sudah ditipkan kepada kita,” tambahnya.
Begitu pula bila hal ini diterapkan dalam konteks kebangsaan. Cahaya Allah akan menuntun kita untuk melihat posisi bangsa sekaligus kemampuan untuk mengaktivasi segenap potensi bangsa Indonesia.
“Kita punya banyak potensi, yang bersifat fisik seperti kekayaan maritim dan pertanian misalnya. Hal itu tentu sangat potensial dikembangkan menjadi jauh lebih maksimal bila kita berhasil mengendalikan perut dan syahwat dan mengelolanya dengan kejernihan hati” imbuhnya. [ARS]