PATI, INDOMURIA.COM – Ngaji Suluk Maleman membedah problem komunikasi dewasa ini. Khususnya di era internet dan era media sosial yang amat terbuka. Ngaji Suluk Maleman mengangkat tema tentang tradisi Jawa dalam komunikasi yang dikategorikan dalam tiga model: esem, semu dan dupak ; senyum, isyarat simbolik dan terus terang.
“Kalau dilihat di medsos. Antara satu pihak dengan pihak lainnya saling menegasikan satu sama lain. Ini tentu akhirnya membuat bingung. Hal ini tentu menuntut kemampuan memaknai pesan dan menjadikan fokus terpecah-pecah. Sehingga akhirnya penentuan untuk menangkap pesan hanya mengandalkan emosi. Cocok yang mana, suka yang mana, bukan lagi mana yang diyakini benar,” ungkap pengasuh Suluk Maleman Anis Sholeh Baasyin.
Oleh karena itu, Anis mengingatkan bahwa pada dasarnya manusia harus memahami bahwa dia tidak akan pernah bisa menyimpulkan sesuatu secara sempurna. Terlebih di saat komunikasi dan informasi telah banyak yang terkorupsi. Sehingga harus benar-benar bijak dalam bersikap.
“Dalam kondisi semacam ini, bahasa sebagai pengantar pesan pun dibuat menjadi tidak memiliki arti apa-apa, simbol-simbol yang dipakainya menjadi tidak pasti semua. Hal itu membuat pesan yang diberikan secara jelas dan tegas dengan model dupak pun sering tidak juga bisa dipahami. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa ini adalah abad kematian bahasa. Salah satu penyebabnya yang tampak jelas di permukaan adalah dominasi politik. Politik hari ini seringkali membuat bahasa kehilangan makna, dan sekadar menjadi sampah,” paparnya.
Sementara itu Budi Maryono, budayawan yang juga menjadi pengisi Suluk Maleman juga menyebut sekarang ini banyak polusi bahasa. Saat ini sesuatu yang serius seringkali dianggap guyonan dan begitu sebaliknya.
“Semua pesan susah, nyaris tak tersampaikan. Manipulasi bisa terjadi dimana pun. Apalagi saat kampanye, hati-hati,” tambahnya.
Dia juga menyoroti keberadaan medsos termasuk tiktok yang cukup mengkhawatirkan. Dia melihat banyak orang yang menafsirkan Al Qur’an. Meski tampak meragukan, namun tafsir itu disampaikan dengan begitu meyakinkan. Alhasil banyak yang percaya dan mengikutinya.
“Tak sedikit yang kemudian merasa paling benar. Padahal hal itu akan memunculkan ego dan kesombongan. Sedang orang sombong tidak akan masuk surga. Kalau tidak di surga tidak ayem. Iblis juga hancur karena sombong. Tentu yang tahu secara terang dan tersembunyi hanya Allah,” tambahnya. [arh]