Budaya – Kelestarian kesenian lokal Gong Cik dihadapkan pada persoalan regenerasi. Saat ini regenerasi hanya bisa berjalan secara alamiah, turun temurun dari bapak ke anak. Dunia pendidikan belum melirik upaya kesenian yang konon asli dari Desa Pasucen itu.
Regenerasi kesenian bela diri Gong Cik berjalan alamiah. Turun temurun dari bapak ke anak. Hal itu berjalan hingga sekarang ini. Padahal kesenian bela diri ini memiliki keunikan tersendiri, namun belum dilirik untuk dikembangkan di lembaga pendidikan misalnya.
Di sebuah tanah lapang seorang bapak-bapak berusia sekitar 40-an tahun nampak serius membimbing bocah-bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu. Beberapa jurus dipraktekkan. Bocah-bocah itu mengamati dengan seksama setiap jurus yang diajarkan pria bernama lengkap Ahmad Faozi itu. Hari itu dia sedang mengajari anaknya “bermain” Gong Cik.
Persoalan regenerasi kesenian ini terus membayangi pikiran Ahmad Faozi. Salah seorang tokoh pelestari Gong Cik ini berharap kesenian ini bisa terus lestari. Dirinya sadar arus perkembangan zaman dengan berbagai gempuran budaya global menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian kesenian ini.
Warga Desa Pasucen Kecamatan Trangkil itu menyanyangkan kesadaran untuk mengajarkan kesenian ini khususnya di sekolah-sekolah masih sangat minim. Misalnya masuk menjadi kegiatan kegiatan ekstrakurikuler. Kesenian ini sifatnya lokal dan hanya turun-temurun secara lokal di Desa Pasucen dan desa sekitar. Di institusi pendidikan formal belum ada. Diharapkan bisa jadi ekstrakurikuler di sekolah-sekolah.
“Belum ada kegiatan ekstra di sekolah. Padahal ini merupakan kesenian asli di Pati. Harapannya kedepan tumbuh kesadaran untuk melestarikan kesenian ini bersama-sama. Khususnya melalui dunia pendidikan,” papar pria akrab disapa Ochenk ini.
Gong Cik merupakan kesenian bela diri yang dimainkan berpasang-pasangan. Para pendekar mengenakan pakaian serba hitam seperti seragam pencak silat, lengkap dengan ikat kepala atau biasanya dengan peci hitam. Kesenian ini disebut sudah eksis sejak zaman kolonialisme Belanda.
ALAT PERJUANGAN
Widyatmoko Setyawan, dalam tulisannya di buku Satu Bendera Beda Warna Tim Pamong Budaya Rayon Yogyakarta (2014) mengungkapkan, asal usul dan keunikan Gong Cik sebagai sebuah perpaduan antara tari dan pencak silat. Dia menyebut Gong Cik sekilas mirip dengan Capoiera ; seni beladiri asal Brazil yang juga memadukan gerak bela diri dengan iringan musik tradisional.
Dalam sejarahnya Gong Cik merupakan siasat pada zaman penjajahan Belanda. Ia dicipta sebagai kamuflase karena beladiri dilarang. Pada saat itu, para pendekar yang ingin menyebarkan pencak silat dilarang oleh pemerintah kolonial. Karena jika rakyat pandai beladiri dikhawatirkan mereka akan melawan Belanda. Untuk menyiasatinya para pesilat menciptakan Gong Cik agar pencak silat tetap boleh diajarkan.
Pendekar yang beradu jurus serupa tari-tarian itu diiringi dengan tabuhan sejumlah alat musik. Antara lain ada gong, ning nong, kendang dan jidor. Kesenian ini biasanya ditampilkan di acara hajatan, maupun acara sedekah bumi di wilayah Kecamatan Trangkil dan sekitarnya bahkan hingga di Kecamatan Dukuhseti yang berada di perbatasan dengan Kabupaten Jepara.
Seharusnya, Ochenk berharap pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan kesenian ini. Terlebih kesenian ini memiliki nilai-nilai positif yang bisa diserap oleh generasi muda.
“Kalau saat ini regenerasinya ya alamiah. Saya bisa main, saya latih anak saya. Teman saya bisa dia nglatih anaknya. Begitu terus sejak dulu. Nah kalau bisa diajarkan di sekolah-sekolah malah lebih bagus bisa semakin lestari. Namun (dunia pendidikan) belum ada kesadaran. Alhamdulillah di desa ini masih ada puluhan pendekar Gong Cik,” imbuh pria yang sudah menekuni Gong Cik sejak tahun 90-an ini.
Pemerhati sejarah dan budaya di Kabupaten Pati, Ragil Haryo Yudiartanto mendorong pemerintah daerah untuk bisa mendaftarkan kesenian lokal, seperti Gong Cik ini menjadi warisan budaya tak benda nasional di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoneisa.
Ragil yang juga aktif di komunitas penggiat sejarah Kabupaten Pati ini menilai Gong Cik sedang berada di “ujung tanduk”. Saat ini perlu intervensi yang mendalam dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah untuk usaha pelestariannya. Karena para pelaku Gong Cik sudah mulai berkurang, bahkan bisa dianggap kesenian asli Pati ini dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
“Gong Cik berkembang di masa kolonial dan kalau diamati sebaran para pelaku Gong Cik yang saat ini masih ada yaitu Desa Pasucen ke atas sampai dengan Desa Lahar, ini merupakan wilayah yang dekat dengan perkebunan kolonial yang dulu juga kemungkinan ada konflik dari para pesilat dengan pemerintah kolonial,” papar Ragil.
Bisa dikatakan Gong Cik menjadi semacam alat perjuangan di masa itu. Dari tulisan sejarawan Peter Carey, kata Ragil, tercatat ada pemberontakan rakyat di pantai utara dipimpin oleh Demang Kramadipura di Pati (1839).
“Pada masa 1800-an sekitar Peranag Jawa banyak terjadi perlawanan kepada colonial. Dari catatan sejarah itu mungkin saja Gong Cik lahir karena dulu pencak silat itu dibatasi oleh pemerintah kolonial sehingga pewarisannya dalam bentuk kesenian agar pencak silat tetap bisa diajarkan meskipun dengan kamuflase kesenian,” papar Ragil.
HARI INI
Gong Cik telah melintasi zaman hingga hari ini. Namun kelestariannya terancam. Dari gempuran budaya global dan sebaagainya. Ragil menilai pentingnya intervensi dari pemerintah daerah, misalnya yang bisa dilakukan adalah dengan memasukkan Gong Cik sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah, misalnya di jenjang SD atau SMP.
“Selain memasukkan Gong Cik dalam muatan lokal di sekolah, pemerintah bisa mendaftarkannya sebagai warisan budaya tak benda nasional. Sehingga jelas dasar hukum dalam upaya perlindungan dan kemudian bisa masuk dalam program-progmra pemerintah seperti menampilkannya dalam pentas-pentas budaya atau sebagai pembuka acara-acara resmi pemerintahan dimana hal ini bisa turut serta mendukung kelestarian kesenian lokal yang telah berkembang pesat di Kota Mina Tani ini sejak zaman kolonial,” terangnya.
Hingga saat ini baru ada tiga warisan budaya tak benda dari Kabupaten Pati, yaitu batik tulis Bakaran Kecamatan Juwana, wayang topeng Soneyan Kecamatan Margoyoso dan budaya meron di Desa/Kecamatan Sukolilo.
Kini kesenian semacam Gong Cik ini dapat terus bertahan dengan kehadiran even-even kebudayaan seperti adanya sedekah bumi yang masih dijunjung tinggi masyarakat pedesaan seperti di wilayah Pati ini. Dimana di beberapa tempat di sekitar Pasucen, seperti di daerah Lahar di Kecamatan Tlogowungu, selalu menampilkan Gong Cik dalam rangkaian kegiatan sedekah bumi. Hal yang sama juga dilakukan di Desa Ngagel di Kecamatan Dukuhseti.
“Di sini setiap sedekah bumi ada pagelaran Gong Cik. Pemainnya dari warga di sekitar sini sendiri. Biasanya semacam reuni. Pemainnya dulu itu satu perguruan. Ya menjadi semacam ajang silaturahmi,” tutur Dimas Anwar, salah seorang warga Desa Ngagel Kecamatan Dukuhseti.
Gong Cik kini telah menjadi sarana hiburan masyarakat yang memiliki keunikan serta nilai-nilai yang khas. Selain terjaga dalam ritual tradisi sedekah bumi, Gong Cik telah dikemas dalam paket desa wisata seperti yang dilakukan di Desa Mojoagung Trangkil, 5 kilometer dari Desa Pasucen.
Di sini Gong Cik menjadi satu daya tarik para pengunjung untuk berwisata ke desa tersebut. Gong Cik menjadi atraksi budaya bagi para wisatawan. []